Thursday, February 26, 2009

KONSEP HAK MILIK STRATA TITLE PADA RUMAH SUSUN/APARTEMEN





KONSEP HAK MILIK STRATA TITLE PADA RUMAH SUSUN/APARTEMEN

Makin berkembangnya kota Jakarta ke arah pinggiran bahkan keluar kota seperti Depok, Tangerang, Bekasi dan Bogor makin membuat orang tinggal jauh dari Jakarta dan akibatnya adalah semakin jauhnya tempat tinggal dengan tempat kerja yang mengakibatkan orang habis waktu di jalan dan sangat kelelahan. Mengingat hal tersebut maka banyak sekarang orang membeli tempat tinggal di apartemen atau rumah susun agar bisa tinggal didalam kota dan dekat dengan lokasi kantor. Namun demikian banyak orang bingung dengan aspek hukum hak kepemilikan Strata Tittle di apartemen karena kepemilikan apartemen dengan konsep strata tittle beda dengan hak milik pada rumah biasa diatas tanah (landed house). Yok cari tahu ….

Hak-hak atas tanah menurut pasal 16 UU Pokok Agraria yaitu hak milik (SHM) bersifat sangat kuat, hak guna bangunan/HGB, hak guna usaha/HGU, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan.

Perbedaan konsep hak milik (SHM) pada rumah biasa (landed house) dengan strata title yaitu apabila seseorang membeli rumah biasa di komplek perumahan, kepemilikannya biasanya berupa sertifikat Hak Milik. Orang yang memiliki Sertifikat Hak Milik berdasarkan sistem hukum Indonesia (UUPA) sangat kuat dan bersifat selamanya yang kepemilikannya meliputi bangunan diatas tanah, tanah di halaman rumahnya, tanah yang berada dibawahnya serta apa yang ada diatas bangunan tersebut. Sedangkan apabila seseorang membeli apartemen atau rumah susun maka sertifikat hak miliknya bukan SHM seperti rumah biasa namun konsep kepemilikannya bersifat Strata Title. Kepemilikan Strata Title atas apartemen atau rumah susun hanya atas bangunan unit apartemen/rumah susun tersebut saja dan tidak termasuk atas seluruh bangunan apartemen yang diluar unit yang seseorang beli, tidak termasuk tanah di dalam lingkungan apartemen dan apa yang ada dibawahnya serta apa yang ada diatasnya. Jadi jika kita membeli apartemen Taman Rasuna Tower 5 lantai 12 unit 12F maka kepemilikan hak milik kita hanya atas unit apartemen 12F tersebut saja dan tidak termasuk keseluruhan bangunan apartemen, tanah di lingkungan halaman apartemen yang biasanya berbentuk HGB atau HGU.

Konsep hukum kepemilikan model Strata Title tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia yang berasal dari hukum Belanda yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental. Istilah Strata Title pertama kali diperkenalkan di Austalia melalui Strata Titles Act tahun 1967. Konsep hukum Strata Title dikenal di Negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon (Inggris beserta negara-negara jajahannya dan Amerika) dan berakar pada jenis tenancy in common. Konsep Strata Title memisahkan hak terhadap beberapa strata (tingkatan), yakin terhadap hak atas permukaan tanah, atas bumi di bawah tanah, dan udara di atasnya (Munir Fuady, Hukum Bisnis Buku ke-II, 1994).

Konon, konsep pemilikan kondominium sudah dikenal sejak zaman romawi kuno. Walaupun ini masih diperdebatkan mengingat hukum Romawi klasik menganut asas perlekatan (superficies solo credit), yang pasti, ada bukti kuat bahwa genesis dari kondominnium telah ada di Eropa sejak abad pertengahan dan berkembang kembali setelah perang dunia II dan berkembang pesat di Puerto Rico (Amerika Latin) kemudian berkembang juga di Amerika setelah adanya Housing Act 1961 diilhami dengan popularitas apartemen/kondominium.

Dalam Code Napoleon di Perancis, dikenal juga prinsip pemisahan horizontal. Namun, legislasi dalam arti modern terhadap pemilikan secara kondominium atas apartemen baru ada di negeri itu setelah keluarnya undang-undang yang diamendemen pada1939 dan 1943. Legislasi di Perancis tersebut mengatur, antara lain : hak penghuni atas common area, organisasi penghuni dan pengangkatan seorang wakil penghuni

Di Indonesia, Undang-undang tentang rumah susun baru ada setelah di undangkannya UU No. 16/1985 dan diperkuat dengan PP No. 4/1988. ketentuan tersebut dinyatakan berlaku juga bagi Apartemen yang bukan rumah susun misalnya, perkantoran.

Hal itu sangat terasa dipaksakan. Mengapa? Karena, dalam UU No. 16/1985, rumah susun diartikan sebagai bangunan yang terdiri atas bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, dan masing-masing merupakan satuan yang dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian. Tapi pasal 7 PP No.4 memperluaskan, bahkan, menyimpang dari UU No. 16/1985, dengan menetapkan bahwa rumah susun dapat digunakan untuk tempat hunian maupun bukan hunian.

Setiap apartemen wajib mempuyai perhimpunan penghuni. Perhimpunan penghuni inilah yang membentuk dan mengawasi badan pengelola dan bahkan mengasuransikan apartemen dari bahaya kebakaran.

Hanya, jika developer masih bercokol di apartemen, misalnya karena satuan rumah susun belum habis terjual, sebagiannya digunakan sendiri oleh Developer, atau ada sebagian yang di sewakan, maka tentu, dalam hal tersebut Developer pun masih punya kepentingan yang besar atas apartemen. Termasuk terhadap masalah pengelolanya, ini sangat potensial menimbulkan benturan kepentingan antara dua pihak.

Yang paling adil, tentu, jika para Developer pun dianggap mempunyai kewenangan yang sama dengan penghuninya. Repotnya, jika Developer memiliki satuan dalam jumlah yang besar, misalnya lebih 5% dari rumah susun. Dalam hal demikian, tentu, keberadaan perhimpunan penghuni maupun Badan Pengelola jadi tidak efektif dan praktis.

Masalah lainnya lagi, yang sering diketengahkan dalam peraturan adalah penghuni-oleh undang-undang diartikan sebagai perseorangan yang bertempat tinggal dalam satuan rumah susun-sehingga dalam hal penghuni bukan pemilik satuan, kewenangan pemilik diabaikan sama sekali.

Secara sangat sumir diatur tentang status, kewenangan, dan kewajiban penghuni. Yang dilarang bagi penghuni melakukan perbuatan yang membahayakan keamanan, ketertiban, dan keselamatan terhadap penghuni lain, bangunan, dan lingkungan, serta mengubah bentuk dan/atau menambah bangunan tanpa persetujuan perhimpunan.

Karena sumirnya pengaturan tentang rumah susun, cukup banyak masalah yang tidak tersentuh. Misalnya, enforcement jika ada penghuni yang membandel terhadap tata tertib, perbuatan penghuni yang destruktif, tapi belum sampai membahayakan ketertiban, mengubah apartemen tapi belum sampai mengubah bentuk bangunan. Hal ini penting agar nantinya, booming apartemen seperti yang sedang terjadi sekarang, tidak berubah menjadi booming kekacauan karena aturannya belum lengkap.

Rubrik Konsultasi Hukum Tabloid TEU’s-Asuhan Abu Nisa






Rubrik Konsultasi Hukum Tabloid TEU’s-Asuhan Abu Nisa

Pertanyaan : Bapak Abu Nisa yang baik, saya bermaksud untuk membuka usaha waralaba Indomart di daerah saya sebagai usaha sampingan dan persiapan saya pensiun, apa dan bagaimana sih syarat-syarat waralaba tersebut? terima kasih.
Ibu Kartina – Kelapa Gading

Jawaban : Secara singkat “Franchise” atau istilah Indonesianya “Waralaba” adalah membuka usaha baru tetapi tidak ingin memakai merk dagang sendiri tetapi menyewa merk dagang yang sudah dikenal luas oleh masyarakat (punya nama terkenal) sehingga tidak perlu lagi memperkenalkan merk dagang baru kepada pembeli. Contoh-contoh merk dagang yang diperjual-belikan hak waralabanya adalah Indomart, Alfamart, Rumah Makan Padang Sederhana, Burger Edam, Paparons Pizza, Ceria Mart, Mc Donalds Indonesia (ekslusif), Pizza Hut Indonesia (ekslusif), Es Teler 77, dll.

Secara terminologi yuridis, Franchise adalah suatu cara melakukan kerjasama di bidang bisnis antara 2 (dua) atau lebih perusahaan, dimana satu pihak bertindak sebagai Franchisor (pemegang/pemilik merk dagang) dan pihak yang lain sebagai Franchisee (pembeli hak merk dagang), dimana didalamnya diatur bahwa pihak Franchisor sebagai pemilik suatu merek dari know – know terkenal, memberikan hak kepada Franchisee untuk melakukan kegiatan bisnis dari/ atas suatu produk barang atau jasa, berdasar atau sesuai dengan rencana komersil yang telah dipersiapkan, diuji keberhasilannya dan diperbaharui dari waktu ke waktu, baik atas dasar hubungan yang eksklusif ataupun noneksklusif, dan sebaliknya suatu imbalan tertentu akan dibayar kepada Franchisor (franchise fee) sehubungan dengan hal tersebut (Munir Fuady SH, LLM, 2005).

Karakteristik yuridis dari franchise :
1. Adanya franchisor, franchisee dan adanya objek bisnis franchise itu sendiri;
2. Produk bisnisnya unik;
3. Konsep bisnis total 4P (product, price, place, promotion);
4. Franchise memakai/menjual produk;
5. Franchisor menerima fee dan royalty;
6. Adanya pelatihan manajemen dan skill khusus;
7. Pendaftaran merk dagang, paten atau hak cipta;
8. Bantuan pendanaan dari pihak Franchisor;
9. Pembelian produk langsung dari Franchisor;
10. Bantuan promosi dan periklanan dari Franchisor;
11. Pelayanan pemilihan lokasi oleh Franchisor;
12. Daerah pemasaran yang ekslusif;
13. Pengendalian/penyeragaman mutu;
14. Mengandung unsur merk dan sistem bisnis.

Biaya – biaya Dalam Transaksi Franchise : 1. Royalty, 2. Franchise fee, 3. Direct Expenses, 4. Biaya Sewa, 5. Marketing and Advertising Fees, 6. Assigment Fees.

Untuk syarat-syarat waralaba Indomart berdasarkan brosur dari PT. Indomarco Prismatama selaku Franchisor adalah sbb :

Kewajiban yang ditanggung oleh Franchisee :
1. Franchise fee : Rp. 200.000.000,- (dibayar di awal pembelian hak merk dagang);
2. Membeli/menyewa ruko di lokasi strategis (jarak 3 km dengan Indomart terdekat);
3. Menyediakan tenaga kerja/pelayan;
4. Menyediakan modal awal pembelian barang dagangan untuk mengisi toko;
5. Membayar fee sebesar 5 % dari keuntungan toko per bulan;
6. Memberikan laporan keuangan berkala perihal hasil penjualan toko per bulan;
7. Menanggung biaya promosi/periklanan yang berkisar sebesar 1 %.

Kewajiban yang ditanggung oleh Franchisor :
1. Mendidik tenaga kerja/pelayan dengan standard baku pelayanan Indomart;
2. Memasok/mengirim barang-barang dagangan ke lokasi toko dengan harga bersaing;
3. Memberikan training standard manajemen pelayanan usaha yang berkualitas termasuk trik-trik marketing dan penjualan;
4. Memberikan bantuan promosi;
5. Membantu mencarikan lokasi usaha yang strategis;
6. Memberikan hak penggunaan merk dagang untuk digunakan oleh Franchisee;

Demikian jawaban dari saya, semoga Ibu Kartina dapat memulai bisnis dengan lancar dan sukses sebagai persiapan masa pensiun Ibu. Salam hukum bisnis.

Abu Nisa / Hendri Frendra

Rubrik Konsultasi Hukum Tabloid TEU’s tentang KSO - Asuhan Abu Nisa






Pertanyaan : Bapak Abu Nisa yang baik, saya bekerja di sebuah perusahaan yang berbentuk KSO (Kerjasama Operasi), sebenarnya bagaimana aspek hukum tentang KSO menurut hukum Indonesia? terima kasih.
Bapak Robert Dharmawan – Pluit

Jawaban :
Kerjasama Operasi (KSO) atau dalam bahasa Inggris disebut Joint Operation (JO) adalah sebuah bentuk kerjasama operasi, yaitu perkumpulan dua badan usaha atau lebih yang bergabung untuk menyelesaikan suatu proyek. Penggabungan bersifat sementara hingga proyek selesai kemudian KSO dibubarkan atau dapat juga diteruskan tergantung keinginan pemilik KSO. Sebagian besar KSO biasanya didirikan untuk jangka waktu paling lama 1 s/d 5 tahun tergantung lamanya proyek berlangsung hingga selesai. Dalam beberapa surat-surat penegasan yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak, istilah Joint Operation seringkali dipertukarkan dengan istilah Konsorsium.

Pada dasarnya JO dapat terbagi menjadi 2 (dua) type yaitu :
1. ADMINISTRATIF JO
Type JO ini sering disebut sebagai KERJASAMA OPERASI (KSO) dimana kontrak dengan pihak pemberi kerja atau project owner ditandatangani atas nama JO. Dalam hal ini JO dianggap seolah-olah merupakan entitas tersendiri terpisah dari perusahaan para anggotanya. Tanggung jawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada pada entitas JO, bukan pada masing-masing anggota JO. Masalah pembagian modal kerja atau pembiayaan proyek, pengadaan peralatan, tenaga kerja, biaya bersama (joint cost) serta pembagian hasil (profit sharing) sehubungan dengan pelaksanaan proyek didasarkan pada porsi pekerjaan (scope of work) masing-masing yang disepakati dalam sebuah Joint Operation Agreement (Akta Kerjasama Operasi).

Meskipun bukan merupakan subjek PPh Badan, JO type ini wajib menyelenggarakan pembukuan dan memiliki NPWP yg semata-mata diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban PPN dan Withholding Tax (kewajiban memotong PPh). Kewajiban PPh Badan tetap dikenakan atas penghasilan yang diperoleh pada masing2 badan (perusahaan) yg menjadi anggota JO tersebut sesuai dengan porsi/bagian pekerjaan atau penghasilan yg diterimanya. JO type ini wajib mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Sebagai PKP, tentu JO ini wajib memungut, menyetor dan melaporkan PPN.

2. NON ADMINISTRATIF JO
JO dengan type ini dalam prakteknya di kalangan pengusaha jasa konstruksi sering disebut sebagai KONSORSIUM dimana kontrak dengan pihak Project Owner dibuat langsung atas nama masing-masing perusahaan anggota. Dalam hal ini JO hanya bersifat sebagai alat koordinasi. Tanggung jawab pekerjaan terhadap Project Owner berada pada masing-masing anggota (pemilik).

JO type ini tidak wajib memiliki NPWP dan menyelenggarakan pembukuan. Pendapatan dan biaya proyek dibukukan oleh masing2 anggota JO. Tagihan ke Project Owner diajukan sendiri oleh masing2 anggota JO atau dapat juga diajukan melalui JO namun Commercial Invoice, Faktur Pajak dan bukti potong PPh pasal 23 tetap atas nama perusahaan masing2 anggota JO (konsorsium).

Berdasarkan pasal 1 angka 13 UU PPN jo. Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.143 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan PP No.24/2002 diatur bahwa dalam rangka pengukuhan sebagai PKP, bentuk KSO termasuk dalam kategori Bentuk Badan Lainnya (bukan badan hukum).

KSO Bukan Badan Hukum dan Belum Diatur dalam sebuah Undang-undang di Indonesia
Di Indonesia, KSO belum termasuk sebagai bagian dari badan hukum tetapi hanya merupakan badan usaha biasa yang pengaturannya tunduk pada KUHPerdata yaitu sebagai Persekutuan Perdata Biasa. Oleh karenanya, KSO tidak ada diatur dalam undang-undang tidak seperti badan hukum yang telah mempunyai pengaturan dalam undang-undang tersendiri, seperti Perseroan Terbatas (diatur dalam UU No.40/2007 jo UU No.1/1995), Koperasi (UU No. 25/1992) dan Yayasan (UU No. 16/2001).

Struktur Organisasi dan Kepegawaian
Karena KSO bersifat sebagai sementara maka biasanya struktur organisasinya dipimpin oleh seorang General Manager beserta para Deputy General Manager dan bukan Direksi (yang terdiri dari Direktur Utama beserta para Direktur). Struktur kepegawaian dalam KSO biasanya adalah merupakan direkrut dari kedua induk perusahaan pemilik KSO yang biasa disebut sebagai karyawan yang ditempatkan namun dalam beberapa kasus ada model dimana untuk staff kebawah merupakan karyawan tetap KSO sedangka manajer keatas atau Manajemen keatas adalah merupakan karyawan perusahaan induk yang ditempatkan pada KSO selama proyek KSO berlangsung. Namun demikian, biasanya karyawan KSO tetap diperlakukan sama dengan karyawan pada sebuah badan hukum yaitu diberikan asuransi Jamsostek, adanya reimbursement kesehatan, pengaturan mengenai PHK namun untuk pemberian tunjangan pensiun (ada yang diberikan dan ada yang tidak) dan pengaturan karyawan KSO juga tunduk pada UU Ketenagakaerjaan yang berlaku.

Contoh-contoh KSO yang ada di Indonesia :
1. KSO Pertamina – PT. Humpuss Patragas ttg eksplorasi minyak Blok Cepu dalam bentuk Technical Assistance Contract/TAC (mulai April 1990 serta masih berlangsung dan sejak 1999 beralih menjadi KSO antara Pertamina dengan Exxon Mobil Oil Indonesia);
2. KSO-Telkom – Ariawest ttg pembangunan fixed line telpon network (mulai akhir 1995 dan diputuskan sepihak oleh pihak Telkom pada tgl 9 Juli 2001)
3. KSO PT. Humpuss Terminal Petikemas – Pelabuhan Indonesia II ttg Pengoperasian Terminal Petikemas Koja Tanjung Priok (mulai akhir 1996 serta masih berlangsung dan sekarang beralih menjadi KSO antara Pelindo II dengan PT. Ocean Terminal Petikemas kemudian beralih nama menjadi PT. Hutchison Port Indonesia)

Demikian jawaban dari saya, semoga Bapak Robert Dharmawan dapat sedikit memahami aspek hukum mengenai KSO dan tidak bingung lagi bekerja di perusahaan yg berbentuk KSO. Salam TEU’S.

Abu Nisa / Hendri Frendra

Rubrik Konsultasi Hukum Tabloid TEUs - Asuhan Abu Nisa TEMA : APAKAH HUTANG PIUTANG DAPAT DITAGIH KEPADA AHLI - WARIS




Pertanyaan : Yth Mas Abu Nisa, saya pernah meminjamkan uang kepada tetangga saya (bernama Pak Yogi) sebesar Rp. 9 juta untuk lama waktu pinjaman 5 bulan yang dibuat dengan surat perjanjian tertulis, kemudian sebelum waktu pinjaman selesai, tetangga saya tersebut meninggal dunia. Kemudian saya coba menagih kepada isterinya dan juga orang tuanya Pak Yogi namun mereka menolak karena mereka merasa tidak tahu menahu dan menganggap yang membuat dan menandatanganinya adalah suaminya (Pak Yogi). Apakah secara hukum saya dapat menagih hutang saya kepada ahli warisnya?
Bapak Ronald SI – Depok

Jawaban :
Dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia, pinjam meminjam uang termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata dan diatur dalam pasal 1754 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) yang menyebutkan bahwa “Pinjam meminjam adalah persetujuan bahwa pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena dipakai, dengan syarat bahwa pihak yang lain ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.

Dari bunyi pasal tersebut diatas jelaslah bahwa telah terjadi utang piutang antara Pak Ronald kepada alm. Pak Yogi dimana Pak Ronald mempunyai tagihan kepada alm. Pak Yogi dan alm. Pak Yogi wajib untuk melunasinya. Apabila alm. Pak Yogi meninggal dunia sebelum masa pinjaman selesai maka para ahli warisnya wajib menggantikan kedudukannya (asa terdapat bukti-bukti). Ketentuan ini telah diatur dalam salah satu azas hukum waris yang berbunyi bahwa “Apabila seseorang meninggal dunia maka seketika itu pula hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya”. Berdasarkan azas ini maka Isteri Pak Yogi dan orang tua Pak Yogi wajib menggantikan kedudukan suaminya (alm. Pak Yogi) untuk melunasi utangnya kepada Pak Ronald (sesuai azas hukum waris).

Secara hukum, selama surat perjanjian itu memang benar dapat membuktikan adanya perjanjian utang piutang/pinjam meminjam antara Pak Ronald dengan alm. Pak Yogi maka Isteri Pak Yogi selaku ahli warisnya wajib dan bertanggung jawab membayarkan utang suaminya tersebut walaupun isteri alm. Pak Yogi menyatakan tidak tahu menahu tentang utang yang dibuat oleh suaminya tersebut. Masalah isteri Pak Yogi yang tidak tahu menahu mengenai utang yang dibuat oleh alm. suaminya bukanlah suatu alasan yang dapat dikemukakan untuk tidak membayar atau mengemplang utang tersebut.

Apabila isteri alm. Pak Yogi menganggap bahwa Surat Perjanjian itu tidak dibuat dan ditandatangani langsung (dapat dikatakan dipalsukan) oleh alm. Pak Yogi maka isteri alm. Pak Yogi tersebut harus dapat membuktikannya secara hukum bahwa surat perjanjian dan tanda tangan alm suaminya tersebut adalah palsu atau tidak pernah ada (karena ada azas hukum yang menyatakan bahwa “seseorang yang mendalilkan sesuatu maka wajib membuktikan dalil yang dikemukakannya tersebut”.)
Apabila dengan upaya tersebut, isteri alm. Pak Yogi dan orang tua alm. Pak Yogi tetap bersikeras tidak mau membayar utangnya kepada Pak Ronald, maka Pak Ronald dapat mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri tempat alm. Pak Yogi dan isetrinya tinggal atau tempat dimana perjanjian utang piutang tersebut dibuat.

Saran saya : sebaiknya lain kali apabila membuat perjanjian utang piutang/pinjam meminjam sebaiknya pasangan hidup (suami atau isterinya) ikut menandatangani perjanjian tersebut seperti contohnya Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di Bank dan sebaiknya ada agunan yang diberikan yang ditulis dalam perjanjian utang-piutang/pinjam meminjam tersebut untuk mencegah kejadian seperti tersebut terulang kembali.

Demikian jawaban dari saya, semoga Bapak Ronald dapat sedikit memahami penjelasan saya. Salam TEU’S.

Abu Nisa / Hendri Frendra

Tulisan saya ttg Rubrik Hukum di Tabloid TEU'S TPK Koja


MENGENAL HAK-HAK ATAS TANAH DAN
DAN BIAYA-BIAYA SEKITAR JUAL BELI RUMAH/TANAH

Pernah mengeluh tidak mengerti mengenai berbagai macam jenis sertifikat tanah dan berapa biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurus jual beli rumah/tanah atau pernah tertipu sertifikat tanah bodong, baca aja artikel singkat ini yang minimal membuat kita jadi paham.

Jenis-jenis sertifikat hak atas tanah :
1. Sertifikat Hak Milik;
Merupakan surat tanda bukti hak atas tanah bagi pemegangnya untuk memiliki, menggunakan, mengambil manfaat lahan tanahnya secara turun temurun, terkuat dan terpenuh dengan luas untuk di Provinsi DKI Jakarta tidak boleh lebih dari 5.000 M2 (paling banyak 5 sertifikat) dan dapat dijadikan jaminan hutang serta dapat dialihkan (vide pasal 20 (1) UU Pokok Agraria).

2. Sertifikat Hak Guna Usaha;
Merupakan surat tanda bukti hak atas tanah bagi pemegangnya guna mengusahakan tanah di sektor pertanian, peternakan atau perikanan atas tanah yang dikuasai langsung dengan luas minimal 5 Ha dengan jangka waktu 25 tahun dan perpanjangan 25 tahun kembali dan dapat dijadikan jaminan hutang serta dapat dialihkan (vide pasal 28 (1) UUPA).

3. Sertifikat Hak Guna Bangunan;
Merupakan surat tanda bukti hak atas tanah bagi pemegangnya guna membangun dan menggunakan bangunan yang berdiri diatas tanah kepunyaan pihak lain guna tempat tinggal (biasanya komplek perumahan awalnya berstatus HGB) atau tempat usaha dengan jangka waktu 30 tahun dan perpanjangan 20 tahun kembali dan dapat dijadikan jaminan hutang serta dapat ditingkatkan menjadi hak milik serta dapat dialihkan (vide pasal 35 (1) UUPA).

4. Sertifikat Hak Pakai;
Merupakan surat tanda bukti pemilikan hak atas tanah untuk memungut hasil atas tanah yang bukan kepunyaan pemegangnya dengan jangka waktu 25 tahun dan perpanjangan 20 tahun kembali dan dapat dijadikan jaminan hutang serta dapat ditingkatkan menjadi hak milik (vide pasal 41 UUPA).

Kegunaan alat bukti hak :
1. Mendalilkan kepunyaan suatu hak;
2. Meneguhkan kepunyaan hak sendiri;
3. Membantah kepunyaan hak orang lain;
4. Menunjukkan kepunyaan hak atas suatu peristiwa hukum.

Bukti kepemilikan hak atas tanah termasuk rumah yang berdiri diatasnya secara yuridis hanyalah hak milik atas tanah dan bukan girik yang PBB (pajak bumi dan bangunan) nya dibayar tiap tahun.

Tips aman dalam prosedur membeli rumah/tanah :
1. Melihat lokasi dan detail rumah;
2. Melihat status hukum kepemilikan rumah, apakah tanahnya berstatus girik atau bersertifikat (sebaiknya carilah rumah yg tanahnya telah bersertifikat agar aman, proses hukum balik namanya mudah dan bisa dijadikan agunan);
3. Melakukan tawar-menawar harga dan menetapkan kesepakatan harga pasti rumah;
4. Melakukan verifikasi sertifikat kepada BPN melalui Notaris (apakah status sertifikat rumah sedang bermasalah/sengketa, sedang dijadikan agunan atas pinjaman, sertifikat bodong/aspal), jika bermasalah batal
5. Menandatangani akta jual beli dihadapan Notaris
6. Melakukan pembayaran harga rumah berikut pajak-pajak PPh, BPHTB (cash atau transfer bank)
7. Balik nama sertifikat kepada BPN melalui Notaris (3 minggu)

Biaya dan pajak yang dikenakan dalam proses jual beli rumah/tanah :
BPHTB – ditanggung oleh Pembeli
PPh (Pajak Penghasilan) – ditanggung oleh Penjual
Biaya akta jual beli notaris – biasanya ditanggung berdua Pembeli dan Penjual
Biaya balik nama – ditanggung oleh Pembeli
Biaya roya – ditanggung pemilik rumah (yaitu untuk mencoret nama bank dan mengganti ke nama kita di dalam sertifikat tanah, dilakukan via notaris atau langsung ke BPN apabila rumah kita telah lunas kredit dari bank. Selama proses kredit maka sertifikat rumah kita di agunkan kepada bank maka sertifikat tersebut diikat melalui hak tanggungan dahulu dikenal dengan istilah hipotik oleh bank).

BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) adalah : pajak yang dikenakan kepada orang atau badan hukum atas dasar perolehan hak atas tanah dan bangunan. BPHTB dikenakan sebesar 5 % dari nilai jual objek pajak (minimal tidak boleh kurang dari nilai NJOP) setelah dikurangi Rp. 30 juta,-.

Objek pajak kena BPHTB yaitu perolehan hak atas tanah dengan cara :
Jual beli, tukar menukar, pembagian hak bersama, pembelian dengan cara lelang, pengalihan hak berdasarkan putusan pengadilan, hibah hak bukan dari keluarga satu derajat, hibah wasiat hak bukan keluarga dari satu derajat, warisan hak bukan dari keluarga satu derajat, hadiah hak dari perseorangan atau badan hukum, pemasukan dalam perusahaan atau badan hukum, pemekaran usaha badan hukum, penggabungan usaha badan hukum, peleburan usaha badan hukum, pemberian hak atas tanah.

PPh (Pajak Penghasilan) final adalah pajak yang dikenakan kepada orang atau badan hukum atas dasar penghasilan peralihan hak atas tanah dan bangunan. PPh dikenakan sebesar 5 % dari nilai jual objek pajak (minimal tidak boleh kurang dari nilai NJOP).

Obyek Pajak Kena PPh
Obyek pajak yang dikenakan pajak penghasilan (PPh) sesuai Pasal 1 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994, yaitu atas penerimaan sebagai berikut:
penjualan hak atas tanah, tukar menukar hak atas tanah, lelang hak atas tanah, hibah hak atas tanah bukan tali darah satu derajat, perjanjian pemindahan hak atas tanah, pelepasan hak atas tanah.

Obyek Pajak Tidak Kena PPh
Obyek Pajak yang tidak dikenakan pajak penghasilan (PPh) sesuai Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994, yaitu sebagai berikut.
Peralihan hak atas tanah dan bangunan karena warisan, peralihan hak atas tanah dan bangunan nilai jualnya kurang dari 60 juta rupiah, pengalihan hak atas tanah dan bangunan kepada instansi pemerintah untuk kepentingan umum, pengalihan hak atas tanah dan bangunan secara hibah kepada keluarga sedarah garis lurus satu derajat ditetapakan Menteri Keuangan dalam hal ini adalah kantor pelayanan pajak setempat, pengalihan hak atas tanah dan bangunan secara hibah kepada badan keagamaan yang ditetapkan Menteri Keuangan, dalam hal ini adalah kantor pelayanan pajak setempat, pengalihan hak atas tanah dan bangunan secara hibah kepada Pengusaha Kecil dan Koperasi.

Semoga artikel singkat ini bermanfaat, selamat bertransaksi jual beli rumah/tanah.